Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikannama Allah Ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki sunyi jiwa
Beri’tikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Tubuh kita bertakbir
Ruh mengagumi-Nya tanpa suara
Ruh bersembahyang tanpa gerak
Menjerit dengan mulut sunyi
Empat
Sangat mahal biaya masjid mahal
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita dzikir-kan
Masjid badan gampang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, bertebaran gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabdi
Pisau tak sanggup menaikinya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab masjid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu ada dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa di genggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun jauh di sana
Tebang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang ganya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tirakat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sejuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah Islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengkafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sebilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbu dalam sejarah
Bergetar menyati sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya ‘Alal Falah!
Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Emha Ainun Nadjib (Puisi Khilafah 1987)
Dari puisi di atas, tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah seorang sufi yang mampu merangkai kata-kata puitis romantis. Untaian kata yang tersusun rapi menjadi kalimat-kalimat selalu membuat pembacanya merenung, menyelami pusat pikiran dan kedalaman diri. Semoga kita dapat kembali kepermukaan dengan pikiran dan hati yang lebih jernih.