STUDENTA- Pengertian sosialisasi dalam budaya politik menurut Moerdiono (1991) adalah menyebarluaskan pengertian-pengertian dan nilai secara persuasif dan edukatif ke tengah masyarakat. Jadi, sosialisasi adalah penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat akan suatu nilai. Pada umumnya sosialisasi bersifat baru dan lebih baik / maju sebagai upaya pengembangan atau pembangunan sosial.
Pengembangan budaya politik terutama di negara berkembang merupakan kebutuhan dan tuntutan. Hal ini karena pada negara berkembang sebagai negara baru cenderung merubah wajahnya dari tradisional konsepsi universal / dunia, yaitu demokrasi. Sehingga, dalam interaksinya dengan dunia internasional dibutuhkan adanya proses pengembangan budaya politik yang demokratis. Budaya politik demokratis merupakan budaya politik partisipan karena melibatkan komponen rakyat baik secara individu maupun kelompok kepentingan.
Pengembangan budaya politik sebagai konsep baru mendasarkan kepada konsepsi budaya politik yang ada, yaitu budaya lokal. Ada pun, pengembangannya adalah dengan penerapan nilai-nilai atau pengertian baru yang bersifat lebih maju yang disesuaikan / diselaraskan. Dalam hal ini adalah budaya demokrasi. Dengan demikian pengembangan budaya politik di negara berkembang akan memiliki ciri khas sendiri tiap negara. Seperti halnya Indonesia akan memiliki ciri khas sendiri budaya politik demokrasi. Demikian juga, di negara maju seperti Amersika Serikat dan Inggris.
Sosialisasi pengembangan budaya politik bersifat kebutuhan dan tuntutan terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini karena menyangkut 2 hal / masalah sosial politik yang terjadi.
Perubahan Sosial Budaya
Setiap masyarakat baik berupa klen, suku bangsa, dan bangsa di seluruh duni selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan sosial atau perubahan kebudayaannya. Wujud perubahan sosial seperti nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan sebagainya.
Perubahan sosial dan kebudayaan erat hubungannya satu sama lain, antara keduanya saling memperngaruhi, bersifat terus-menerus dan menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Hubungan perubahan sosial dan kebudayaan suatu bangsa dapat meliputi dua hal :
- Perubahan kebudayaan sering mempengaruhi perubahan sosial
Contohnya : Jika suatu negara merubah UUD (konstitusi)-nya, atau bentuk pemerintahannya maka perubahan itu akan mempengaruhi lembaga-lembaga sosial, cara-cara berinteraksi, struktur kelas sosial dan sebagainya.
– - Tidak semua perubahan kebudayaan mempengaruhi kebudayaan sosial
Contohnya : Perubahan pada logat bahasa dan perubahan mode-mode pakaian.
–
Hubungan perubahan sosial dan kebudayaan tersebut melahirkan bentuk-bentuk perubahan sosial dan kebduayaan. Ada (3) tiga aspek bentuk perbuahan sosial dan kebduayaan :
Perubahan secara cepat dan perubahan secara lambat
Perubahan secara cepat (revolution) adalah perubahan yang terjadi secara cepat dan menyeluruh (segala aspek kehidupan) termasuk kebudayaannya. Terjadinya revolution karena beberapa alasan, yaitu :
- Rasa tidak puas
- Adanya pemimpin yang mampu memimpin dan menampung serta merumuskan menjadi arah gerak masyarakat
- Pemimpin tersebut dapat menunjukkan suatu tujuan yang jelas pada masyarakat untuk dijadikan arah bagi gerak masyarakat tersebut, dan
- Adanya momentum yang tepat, yaitu saat segala keaaan dan faktor sudah pas atau baik untuk revolusi, seperti saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Perubahan secara lambat (evolusi) adalah perubahan yang memakan waktu lama, terjadi perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat. Perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana atau suatu kehendak tertentu. Perubahan ini terjadi karena usaha-usaha masyarakat menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Ada 3 (tiga) macam bentuk evolusi, yaitu :
- Unilinear theories id evolution
Manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaan) mengalami perkembangan melalui tahap-tahap tertentu, dari bentuk sederhana menjadi bentuk modern.
– - Universal theories of evolution
Perkembangan masayarakat asalnya dari perkembangan kelompok homogen menjadi perkembangan kelompok heterogen.
– - Multilateral theories of evolution
Perubaan terjadi secara bertahap dan setiap tahap perubahan kebudayaan tersebut menimbulkan pengaruh sosial, misalnya perubahan masa berburu dan bercocok tanam menimpulkan pengaruh kehidupan sosial dari nomaden menjadi menetap dan membentuk organisasi kemasyarakatan.
Peruabahan yang membawa pengaruh besar dan kecil terhadap masyarakat
Pengaruh perubahan yang besar terhadap masyarakat adalah mata sistem pencaharian. Contohnya industrialisasi pada masyarakat agraris berpengaruh besar terhadap kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Sedangkan, pengaruh perubahan yang kecil terhadap masyarakat adalah perubahan kebiasaan-kebiasaan, seperti perubahan mode pakaian dan perubahan bangunan rumah.
Perubahan yang dikehendaki (intended change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change)
Perubahan yang dikehendaki direncakanakn dahulu oleh pihak-pihak yang menghendaki perubahan di masyarakat. Hal ini timbul sebagai suatu reaksi (direncanakan) terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi sebelumnya. Mislanya, bentuk perkawinan poligami yang sebelumnya diatur dalam adat-istiadat sekarang diatur dalam hukum negara, yaitu UU Perkawinan.
Sedangkan perubahan yang tidak dikehendaki (direncakan) merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan oleh masyarakat. Misalnya, adanya perubahan desa menjadi kota, cenderung adat/upacara adat lambat laun berubah dan punah.
Dari keterangan bentuk-bentuk perubahan sosial dan budaya tersebut, semuanya memberikan tawaran yang baik. Hal ini karena latar belakang atau sebab terjadinya perubahan kejadiannya juga karena beberapa sebab. Sebab-sebab terjadinya perubahan kebudayaan secara umum meliputi dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern.
Faktor Intern
Perubahan dalam faktor ini beradal dari masyarakat itu sendiri dan atas :
- Penemuan (discovery), yaitu penemuan unsur kebudayaan baru, baik berupa alat atau gagasan baru.
- Pendapatan (invention), yaitu pengakuan atau penerimaan dan penerapan penemuan baru oleh masyarakat.
- Inkulturasi (pembudayaan), yaitu proses mempelajari dan menyamakan alam pikiran serta sikap dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan sendiri.
Faktor Ekstern
Perubahan dalam faktor ini berasal dari luar masyarakat, dan terdiri atas :
- Akulturasi, yaitu pertemuan antara dua kebudayaan dari bangsa yang berbeda sehingga satu sama lain saling mempengaruhi.
- Difusi, yaitu penyebaran kebudayaan yang dilakukan oleh suatu bangsa.
- Penetrasi, yaitu masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan lokal. Adapun jalanya ada secara damai (penetrasi pasifique) dan dengan jalan paksaan yaitu perang dan penjajahan (penetrasi violente).
Kematangan Budaya Politk
Interaksi yang terjadi antarbudaya politik kelompok membawa arah kajian tentang konsep kematangan budaya politik. Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa kematangan budaya politik adalah suatu keadaan di mana budaya politik suatu masyarakat berada dalam suatu tahapan atau tingkatan, yaitu suatu prakondisi yang memungkinkan budaya politik berfungsi dengan baik.
Berfungsinya budaya politik dengan baik, menurut Almond dan Verba (1991), pada perinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa itu dengan struktur politiknya. Dengan demikian, semakin serasi struktur politik dengan aspek-aspek budaya bangsa itu, maka semakin matang pula budaya politiknya.
Akan tetapi, tingkat keserasian antara struktur politik dengan aspek-aspek kebudayaan itulah yang justru merupakan masalah fundamental bagi kebanyakan negara yang sedang berkembang. Lazimnya, tingkat keserasian atau proses pembentukan keserasian itu menyentuh aspek-aspek horizontal dan vertikal dalam pertumbuhan masyarakat yang bersangkutan.
Yang menjadi pokok persoalan dalam hal ini adalah bahwa kebanakan negara tersebut tidak hanya menghadapi persoalan bagaimana menyerasikan kedua elemen yang penting tersebut, tapi juga masih bergulat dengan pertanyaan dengan budaya mana struktur politik itu harus menyesuaikan diri. Hal yang demikian terjadi terutama karena kebanyakan negara tersebut masih berada dalam tahap pertarungan untuk merumuskan kebudayaan atau identitas nasional dengan cara mereka masing-masing.
Secara horizontal, sering kita temukan bahwa yang menjadi salah satu sumber pertarungan tersebut adalah kenyataan bahwa apa yang dinamakan kebudayaan nasional di kebanyakan negara berkembang itu tidak lain adalah budaya-budaya yang ada pada tingkat subnasional (daerah)
Di negara berkembang, tidak sulit didapati kebudayaan subnasional yang masing-masing mempunyai karakter yang berbeda satu sama lainnya. Kebudayaan-kebudayaan subnasional ini saling bersaing untuk memperebutkan posisi yang dominan dalam sistem politik sehingga memungkinkan mereka yang menjadi faktor penentu dalam proses penyerasian kebudayaan dengan struktur politik.
Ada perbedaan secara vertikal antara elite politik dan (massa). Dari beberapa sudut pandang perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
- Daris istilah pemimpin (elite politik) dan yang dipimpin (massa) menunjukkan refleski orientasi poilitik yang berbeda.
- Dari segi kedudukan, masyarakat memandang pemimpin dipandang sebagai yang mempengaruhi dan menguasai massa, sedangkan massa tidak lebih sekelompok orang yang dipengaruhi atau dikuasai oleh pemimpin.
Jadi dalam kematangan budaya politik di negara berkembang, persoalannya lebih luas dari sekedar menyerasikan struktur politik dengan kebudayaan mereka
Tetapi, sebelumnya harus dilakukan penataan-penataan bidang kebudayaan itu sendiri. Adanya pertumbuhan kebudayaan nasional yang jelas, maka proses penyerasian struktur politik pun akan berlangsung relatif lebih mudah. Ada pun, permasalahannya adalah penyerasian struktur politik dengan kebudayaan subnasional (daerah) berisiko menimbulkan benturan-benturan betatapun kecilnya.
Hal ini menjadi gejala umum di negara berkembang dan tidak jarang terjadi bentrokan massa seperti perkelahian, demonstrasi, amuk massa, dan protes massa dengan pendudukan gedung-gedung pemerintah. Untuk itu dibutuhkan adanya integrasi politik.
Integrasi politik tidak bisa dilepaskan dengan fungsi budaya politik itu sendiri
Budaya politik bertujuan mencapai atau memelihara stabilitas sistem politik yang demikratis. Menurut Claude ke (1967) terdapat dua masalah dalam fungsi budaya politik.
- Bagaimana rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara?
Secara eksplisit masalah pertama ini adalah tentang hak dan kewajiban warganegara dan secara implisit juga menyangkut hak dan kewajiban negara kepada akyat. - Bagimana meningkatkan consensus normative yang mengatur tingkah laku politik warga negara?
Masalah consensus normative yang mengatur pembinaan kesepakatan antar warganegara tentang perilaku politik positif bagi kelanjaran jalannya sistem politik yang berlaku.
Penapat Claude Ake tersebut jelas menempatkan posisi rakyat sebagai objek dan subjek dalam integrasi politik. Semakin tinggi budaya politiknya maka tinggi pula kemungkinan integrasi politik tersebut. Begitu pula sebaliknya. Rakyat akan mudah menerima bentuk atau arah pembangunan politik kalau pembangunan politik itu tidak merupakan upaya yang datang dari struktur atau unsur atas semata-mata tapi juga melibatkan unsur bawah.
Dalam pembangunan politik yang melibatkan unusr bawah (rakyat) sebagai usaha pematangan budaya politik menurut Nazaruddin (1991) ada dua hambatan / masalah, yaitu :
- Eksistensi budaya politik kelompok atau subnasional
Di satu sisi, budaya politik kelompok atau subnasional lebih tua dan sudah berakar dalam masyarakat, sedangkan kebudayaan nasional bersifat baru dan memperkenalkan struktur politik baru yang belum tentu sesuai.
– - Perbedaan jarak antara subbudaya politik satu dengan struktur politik
Adanya subbudaya politik satu yang jauh dari struktur politik sehingga pengaruhnya kurang atau bahkan sama sekali tidak terasa. Adapula subbudaya politik lainnya yang dekat dengan struktur politik sehingga berpengaruh kuat atau mendominasi struktur politik.
Perbedaan jarak ini menimbulkan kecemburuan, saling curiga, bahkan saling benci antara subbudaya politik tersebut. Dalam keadaan demikian budaya politik diwarnai oleh hostility (konflik) dari pada trust (kerjasama) dengan berbagai konsekuensinya.