Indonesia merdeka sudah 76 tahun. Indonesia berbangsa bahkan berabad-abad lamanya. Mestinya, segenap warga dan elite negeri makin dewasa dalam berindonesia. Ibarat buah makin matang, seperti ilmu padi, makin tua kian merunduk ke bumi.
Namun, masih saja ada yang belum beranjak akil-balig dalam berbangsa dan bernegara. Semisal elite negeri yang menyatakan suatu Kementerian Negara lahir diperuntukkan golongan tertentu dan karenanya layak dikuasai oleh kelompoknya. Suatu narasi radikal yang menunjukkan rendahnya penghayatan keindonesiaan.
Belum terhitung praktik paradoks lain yang sama gawat. Dunia politik, ekonomi, dan kekayaan alam dikuasai oleh sekelompok kecil pihak dan ramai-ramai membangun sangkar besi oligarki. Negara Republik Indonesia yang susah payah diperjuangkan kemerdekaannya oleh seluruh rakyat dengan segenap jiwa raga, direngkuh menjadi miliknya.
Inilah ironi keindonesiaan. Suatu ironi bernegara yang sejatinya berlawanan arus dengan gempita Aku Pancasila, Aku Indonesia, Aku Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati. Ironi sebagai bukti, Indonesia ternyata belum menjadi milik semua!
Disorientasi Berbangsa
Indonesia itu lahir dan hidup untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Sukarno dalam pidato 1 Juni tahun 1945 dalam sidang BPUPKI yang monumental menyatakan dengan lantang bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.
Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara. Dari Dwitunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa gotong-royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, oligarki keagamaan, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.
Peneliti asing membuat kesimpulan yang sangat bijaksana. Anthony Reid (2018) menulis “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan”.
Padahal, dia tidak menjadi bagian dari Republik ini, sekadar menjadi pengamat. Namun, memahami jati diri keindonesiaan yang dibentuk dan dibangun di atas dasar kebersamaan.
Artinya, keberadaan dan masa depan Indonesia itu menyatu dengan keseluruhan rakyat yang termanifestasi dalam beragam agama, ras, suku bangsa, daerah, dan golongan dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah.
Kesatuan tanpa diksriminasi. Kebersamaan tanpa dominasi. Keutuhan tanpa serpihan. Harmoni tanpa arogansi seolah Republik ini hanya didirikan oleh, dari, dan untuk dirinya. Itulah kesejatian Bhinneka Tunggal Ika yang autentik.
Indonesia milik semua itu sudah disegel oleh konstitusi. Kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang bersatu di samping berdaulat, adil, dan makmur yang menjadi cita-cita nasional. Pemerintahan Negara Indonesia, antara lain, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sila ketiga Pancasila ialah Persatuan Indonesia. Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sila kelima ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kurang apa lagi? Semua menunjukkan substansi yang hakiki bahwa Negara Republik Indonesia itu merdeka untuk semua rakyat Indonesia tanpa kecuali, tanpa diskriminasi, dan tanpa arogansi oleh sekelompok kecil maupun besar apa pun yang merusak keutuhan, persatuan, dan kebersamaan.
Bhinneka Tunggal Ika bahkan telah menyatu menjadi darah daging keindonesiaan di Republik ini, jika benar-benar dipahami dan dihayati untuk dipraktikkan dengan bukti.
Karenanya, ketika ada warga dan elite bangsa atau golongan apa pun yang mengklaim Indonesia seolah miliknya dan diperuntukkan bagi diri dan kelompoknya, sejatinya bertentangan dan keluar dari fondasi yang menjadi jiwa, pikiran, koridor, cita-cita, dan tujuan Indonesia merdeka. Tidak sejalan dengan eksistensi Negara Indonesia berdiri sebagai bangsa dan negara.
Sama halnya bila muncul asumsi bahwa Negara Indonesia yang tidak dikelola olehnya, maka salah semua. Pandangan, sikap, dan orientasi tindakan yang ironi seperti itu merupakan bentuk disorientasi berbangsa dan bernegara!
Jiwa Bernegara
Ernest Renan tahun 1882 menulis, “… bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi … yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)…”.
Menurut filsuf Prancis yang menjadi rujukan pikiran para pendiri bangsa, seperti Sukarno, Mr Soenarjo, Mr Mohammad Yamin, bahwa “asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan asas ras”.
Negara Indonesia itu terbentuk oleh keutuhan seluruh komponen bangsa. Karenanya, Indonesia akan hilang eksistensinya jika sudah terkapling-kapling oleh arogansi dan oligarki diri, kroni, golongan, konspirasi, dan segala bentuk pengusaan yang mengeliminasi kebersamaan, kesatuan, kebhinekaan, dan prinsip negara milik semua.
Jika hal itu terjadi, prinsip demokrasi yang meletakkan negara dan penguasaan negara oleh, dari, dan untuk semua rakyat menjadi terkoreksi, tererosi, terdistorsi, dan terkorupsi.
Di negeri ini tidak semestinya berkembang siapa yang kuat dan yang menang menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi, Indonesia dapat terpapar “radikalisme-ekstrem” dalam bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi 1945.
Indonesia wajib hukumnya untuk menjadi milik semua. Masa depan bangsa dan negara pun terancam dan menjadi ladang pertaruhan melebihi atau menyamai ancaman radikalisme jika dikuasai oleh sekelompok pihak yang merusak bangunan dasar keindonesiaan.
Pemerintah negara wajib hadir untuk melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintahan negara dari pusat sampai daerah beserta seluruh institusi yang melekat di dalamnya harus menjadi milik semua yang mengayomi, memayungi, menyantuni, melayani, dan melindungi semua.
Ancaman keindonesiaan bukan hanya separatisme fisik, melainkan dapat berupa separatisme nonfisik dalam segala hasrat hegemoni, dominasi, dan oligarki atas nama apa pun dan oleh siapa pun atau kelompok mana pun.
Para warga dan lebih-lebih elite bangsa niscaya memupuk jiwa kenegarawanan yang meletakkan kepentingan Indonesia di atas kepentingan diri, kroni, kelompok, golongan, dan segala primordialisme yang mencederai keindonesiaan. Jiwa kenegarawanan yang luhur itu mesti dijadikan alam pikiran, sikap, dan orientasi tindakan nyata dalam berbangsa dan bernegra.
Bukan jiwa kenegarawanan sebagai slogan yang indah pada narasi kata dan retorika, melainkan miskin tindakan dan bukti nyata. Jiwa kenegarawanan yang autentik antara kata dan perbuatan, bukan dalam jargon heroik kebinekaan dan keindonesiaan yang terkunci dalam verbalisme NKRI harga mati hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Bagi kaum beriman, jiwa kenegarawanan dalam berbangsa dan bernegara mesti lahir dari tauhid yang menundukkan segala ananiyah diri di atas otoritas Allah Yang Maha Kuasa. Kuasa duniawi itu nisbi dan titipan Tuhan yang mesti dirawat dengan jiwa terpercaya.
Sebaliknya, mesti dieliminasi segala wujud nafsu duniawi yang melampaui batas. Nabi mengingatkan, jika manusia diberi satu gunung emas, dia akan meminta gunung yang kedua, setelah diberi yang kedua, dia minta gunung emas ketiga. Hanya kematian yang memutus nafsu keserakahan itu (QS at-Takatsur: 1-2).
Mandat kekuasaan duniawi bagi orang-orang beriman bukanlah barang indrawi yang mesti dikuasai menjadi milik sendiri dengan arogansi dan lupa diri. Takhta itu amanah sangat berat yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah Tuhan.
Bukankah Allah mengingatkan dengan firman-Nya, “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS an-Nisa: 58).
Jika hasrat kuasa diri dan kroni menjelma menjadi sangkar besi, lantas di mana ajaran luhur agama dan nilai suci Ilahi masuk ke jantung hati!
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Halaman Republika pada Sabtu (23/10)