STUDENTA- Seperti diketahui bahwa tipe budaya politik secara murni tidak ada melainkan menjadi campuran antara tipe parokial, subjek dan partisipan. Dengan demikian, secara khusus suatu egara tidak bisa dikatakan budaya poitik yang berlaku adalah parokial atau subjek maupun partisipan saja. Melainkan pencampuran dari dua atau tiga tipe sekaligus.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia, untuk itu diperlukan adanya kajian terhadap budaya politik di Indonesia. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin (1991), budaya politik di Indonesia secara budaya dinamakan Bhineka Tunggal Ika.
Nama Bhineka Tunggal Ika sebagai budaya politik bangsa Indonesia diambil sebagai simbol indentitas / ciri utama / jiwa yang melekat pada bangsa Indonesia. Sebagai suatu budaya politik, Bhinneka Tunggal Ika mempunyai sejumlah nilai hakiki yang dihayati dan diamalkan dalam pergaulan sehari-hari oleh Bangsa Indonesia.
Ada dua nilai hakiki yang menonjol yaitu toleransi dan tenggang rasa
Toleransi dan tenggang rasa merupakan nilai yang menghormai hak dan kewajiban orang lain dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya termasuk agama.
Budaya politik Bhinneka Tunggal Ika yang identik dengan interaksi antara subbudaya politik secara umum diwarnai oleh unsur adat dan agama. Pertemua adat dan agama di Indonesia melahirkan subbudaya politik keras dan lunak. Hal ini karena unsur adat dan agama dalam praktiknya bisa bernilai keras maupun lunak. Yang harus dihindarkan adalah terjadi kekerasan dari budaya politik tersebut menggoyangkan politik yang ada.
Demikian juga adanya pengertian pusat dan daerah dapat menciptakan keguncangan sistem politik bangsa. Seperti yang terjadi sekarang ini dimana demonstrasi menjadi tern dan dianggap sah sebagai budaya politik yang demokratis. Walaupun ada tindakan anarkis seperti penghancuran fasilitas umum, perusakan gedung pemerintah dan menghambat ketertiban umum di jalan raya.
Mengenai budaya politik Bhinneka Tunggal Ika yang tidak bersifat tertutup tapi terbuka terhadap pengaruh dari luar, diatur dalam konstitusi
Penjalesan UUD 1945 pasal 32 tentang kebudayaan nasional memberikan batasan bahwa ada tiga unsur kebudayaan nasional, yaitu :
- Kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya,
- Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, dan
- Bahan-bahan baru dari kebudayaan yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, seperti mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sikap konstiusi menjadi jelas bahwa strategi nasional bidang kebudayaan menghormati kehadiran kebudayaan semua suku bangsa di Indonesia. Tanpa menutup diri terhadap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing yang positif.
Seperti di negera maju, menurut Nazaruddin (1991), terjadi kematangan budaya politik sehingga terjadi integrasi politik yang mapan. Hal ini karena adanya keserasian antara kebudayaan bangsa dengan struktur politiknya. Fungsi budaya politik adalah untuk mencapai atau memelihara stabilitas sistem politik yang demokratis.
Untuk mencapai stabilitas politik tersebut dibutuhkan kematangan budaya politik dan integrasi politik
Budaya politik yang berkembang di Indonesia secara politik menurut Moerdiono (1991) diberi nama budaya politik demokrasi pancasila. Budaya politik demokrasi Pancasila adalah bagian seluruh budaya Indonesia. Ada enam (6) masalah pokok dalam mengkasi budya politik demokrasi Pancasila, yaitu :
Sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi Pancasila
Sosialisasi Pancasila bermakna menyebarkan pengertian-pengertian Pancasila itu secara persuatif dan edukatif ke tangah masyarakat. Hal ini telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui penataran dan non penataran.
Internalisasi Pancasila berarti proses aktif oleh setiap orang untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian keseluruhan sistem nilai pribadinya. Mengerti saja tidak cukup tanpa pemahaman, penerimaan serta pengamalan oleh setiap orang dalam kehidupannya.
Pancasila tidak menguasai keseluruhan sistem nilai peribadi seseorang, tetapi hanya yang berkaitan dengan aspek hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegegara. Hal ini terkait dengan primordialisme kita sehingga kematangan budaya polotik sulit dicapai.
Institusionlisasi Pancasila berarti nilai-nilai Pancasila yang kita masyarakatkan itu selain diterima dan dihayati orang banyak juga terkristalisasi sebagai bagian menyeluruh lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat.
Persepsi tentang Kekuasaan
Ada beberapa persepsi tentang kekuasaan dalam politik. Menurut Moerdiono (1991) ada 3 kekuasaan.
- Kekuasaan abasah dan subtil
Kekuasaan ini terpusat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara politik, kekuasaan tersebut meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
– - Kekuasaan vulgar
Kekuasaan ini bisa disalahgunakan karena bersifat alamiah dan tidak diatur dalam perundang-undnagan. Kebanyakaan bersifat kekuasaan.
– - Kekuasan moral
Kekuasaan ini berasal dari hati nurani
Posisi Agama dan Kebudayaan Daerah
Pancasila dijabarkan dalam konstitusi menjamin, melindungi, mengukuhkan bahkan membantu agama-agama dan kebudayaan daerah itu. Secara sistemik, yaitu dipandang dari unsur nilai, institusi dan manusianya sebagai : kesatuan sistem, Pancasila hanya mengatus manusianya sebagai warga negara.
Integrasi antar Elite Politik
Pancasila disandarkan kepada rasa kebersamaan dan kekeluargaan, maka seyogyanya tercermin dalam keterpaduan antar pemimpin. Intergrasi antara elite politik ini meliputi dua lapisan yaitu, lapisan golongan dan lapisan antar golongan.
Integrasi antara elite politik di dalam suatu golongan secara bertahap diselesaikan, kecuali dalam organisasi kekuatan sosial politik (LSM, Partai politik, organisasi massa). Elite birokasi dan militer berjalan lebih cepat daripada intergasi elite lainnya. Hal ini karena adanya kesatuan doktrin, struktur organisasi yang hirarkis, dan disiplin yang kuat. Sedangkan organisasi sosial politik masih dipengaruhi primordialisme, doktrin, organisasi, kepemimpinan, pengkaderan, dan rencana program kerja.
Integrasi elite lapisan kedua adalah integrasi elite di dalam kekuasaan Negara (penguasa / pemerintah). Dalam sejarah negera Indonesia, elite penguasa pada mulanya terdiri dari sipil (birokrasi dan partai politik) dan mulai tahun 1957 beralih ke tangan elite militer. Kekuasaan militer mengakar pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Sedangkan, pada masa Orde Reformasi dewasa ini, terjadi polarisasi kekuasaan antara sipil dan militer.
Integrasi antar Elite Massa
Integrasi elite massa dalam hal ini adalah elite politik dengan amsa pendukungnya. Melalui pemilu dan infrastruktur politik seperti media massa, yaitu surat kabar, majalah, televisi, dan radio, integrasi elite massa dapat dibangun. Adapun peranan pemilu dan media massa tersebut dalam demokrasi Pancasila adalah sebagai instrumen dinamika kehidupan demokrasi sekaligus sebgai penyeimbang.
Masalah Pemerataan dan Keadilan
Masalah pemerataan dan keadilan sebenarnya adalah satu, yaitu menyangkut keadilan. Sedangkan, pemerataan merupakan salah satu aspek keadilan yang menonjol. Konsepsi keadilan di Indonesia sangat relatif karena dipengaruhi oleh agama dan adat istiadat rakyat.
Dari pendapat Moerdiono tentang masalah budaya politik Indonesia di atas, dapat dikatan bahwa budaya politik yang berkembang adalah bersifat campuran dari unsur budaya parokial, subjek dan partisipan. Hal ini karena adanya kelengkapan lembaga yang berfungsi dan adanya keterlibatan kesadaran politik masyarakat dalam berbagai kegiatan politik. Contohnya Pemilu dan adanya wawasan nusantara yang membentengi cara pandang (budaya) pemimpin atau pemerintah Indonesia.
Secara terpisah, budaya politik di Indonesia, dinyatakan oleh Alfian (1991), adalah budya politik demokrasi Pancasila. Ada pun gambaran konkrit budaya politik demokrasi Pancasila adalah demokrasi desa sebagai embrio atau pun jiwa dalam budaya demokrasi Pancasila.
Hal ini karena demokrasi desa mengandung suasana keterbukaan dan kebebasan yang wajar dan sehat
Ada enam (6) bangunan budaya demokrasi desa yang mampu menciptakan dan memelihara keterbukaan yang wajar dan sehat tersebut, yaitu sebagai berikut :
- Wilayah yang kecil menciptakan hubungan dan komunikasi yang efektif
- Julah penduduk yang sedikit relatif homogen, dalam segi suku, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
- Adanya satu keturunan dan pertalian darah mempererat rasa persatuan dan kesatuan dengan semangat kekeluargaan, gotong royong, dan kebersamaan yang intim.
- Rasa kekeluargaan, gotong royong dan kebersamaan yang dalam.
- Berkembangnya nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan sosial sesama warga.
- Adanya pembagian fungsi dan peranan (relatif sederhana), ada yang dipercayakan memgang kendali pemerintahan atau kekuasaan (Kepala Desa dan Perangkatnya). Ada pemuka adat dan agama, ada cerdikpandai atau cendekiawan, ada budayawan, ada tokoh pemuda ada yang bertugas mengatur kemanan, ada yang mengurusi irigasi pertanian dan lainnya.
- Adanya hukum atau aturan permainan yang ditaati warga walau umumnya bersifat tidak tertulis. Di sini tercermin rasa tanggung jawab dan disiplin sosial yang tinggi terhadap keutuhan dan kepentingan bersama.
Ke-7 faktor tersebut merupakan satu kesatuan bulat. Seperti halnya nilai-nilai Pancasila hidup dan terpatri dalam kehidupan demokrasi desa tersebut. Melalui mekanisme musyawarah mufakat, semua persoalan kehidupan diselesaikan secara musyawarah terbuka untuk mencapai mufakat atau kesepakatan bersama.
Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Semua kegiatan menjadi ringan karena dilakukan dengan gotong royong, semua persoalan dapat diselesaikan karena dirundingkan bersama-sama. Inilah wajah desa di seluruh wilayah Indonesia.
Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber